Selasa, 24 Februari 2009

Perjuangan Perempuan Perspektif Analisis Morfogenis

Persfektif yang paling peka adalah persfektif janda dan yatim
Sudut pandang mereka yang dieksploitasi dan terpinggirkan
--John Raines—

Setiap tahun kita memperingati Hari Ibu dan Hari Kartini. Peringatan Hari Perempuan Sedunia juga tak kalah heroiknya diperingati di berbagai tempat dengan mengusung berbagai tema menarik. Tidak sedikit pula peringatan tersebut diiringi dengan diskusi, seminar dan serasehan. Menghadirkan banyak panelis dari berbagai latar belakang disiplin keilmuan dan keahlian. Bahkan di negeri ini telah sejak lama ada Mentri Pemberdayaan Perempuan. Tapi apa maknanya bagi kaum perempuan negeri ini? Jujur saja, dari satu tahun ke tahun berikutnya, peringatan hari-hari perempuan tersebut begitu-begitu saja. Tak ada geliat yang membesarkan hati kaum perempuan. Apalagi niat yang membuat mereka berbinar sumringah.

Perjuangan Melawan Diskriminasi

Dalam talk show baru-baru ini di salah satu televisi swasta terkemuka, Menteri Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta, yang juga anak sulung proklamator Bung Hatta, mengetengahkan ada tiga persoalan krusial yang dihadapi perempuan saat ini.

Pertama, pendidikan bagi perempuan. Pendidikan merupakan jalur yang paling strategis untuk mensosialisasikan berbagai ide dan pemikiran. Melalui pendidikan dimungkinkan sebuah persoalan dapat ditengok dengan beragam sudut pandang; melalui pendidikan sebuah permasalahan bisa dicarikan jalan keluar dengan beraneka pilihan. Persoalannya adalah iklim pendidikan tidak berpihak kepada perempuan.

Kedua, gaji yang belum memadai. Perlahan perempuan ikut berkiprah di ruang publik di segala bidang. Hampir tidak ada ruang publik atau tempat kerja yang tidak menggunakan tenaga perempuan. Bahkan ada beberapa perusahaan dan pabrik—biasanya yang bergerak di bidang tekstil, konveksi, aksesoris, kesehatan dan jasa rumah tangga—di Jabodetabek, Batam atau di luar negeri seperti Malaysia, Timur Tengah dan Taiwan, memprioritaskan tenaga kerja perempuan. Ini tentu membuat kita bangga.

Bila ditelisik lagi, trik tersebut merupakan bagian akal bulus bos untuk mempertebal doku dan menumpuk pundi-pundi kekayaan. Karena kaum perempuan rajin bekerja dan tidak banyak permintaan. Persoalan lainnya yang sangat krusial adalah gaji yang diterima tidak setimpal dengan kerja keras dan loyalitas yang mereka pertaruhkan. Dengan jam dan pekerjaan yang sama dengan laki-laki, toh gaji mereka tetap di bawah standar gaji laki-laki.

Ketiga, minimnya fasilitas kesehatan. Kesehatan perempuan seringkali terlupakan. Padahal mereka sangat rentan tertular penyakit yang berasal dari diri mereka sendiri maupun penyakit yang berasal dari luar.
Proses Morfogenis?

Memerangi ketidakadilan sosial akan selalu menjadi tema menarik dan tetap akan menjadi tema penting dalam setiap pemikiran kemasyarakatan. Yang berbeda barangkali hanya prioritas kasus yang diangkat atau alat analisis yang digunakan. Sejarah manusia memerangi ketidakadilan sosial telah melahirkan berbagai analisis dan beragam teori sosial. Teori kelas Marx sangat membantu untuk memahami ketidakadilan distribusi ekonomi dan erat kaitannya dengan sistem sosial lainnya. Bahasan Gramsci dan Arthusser tentang ideologi dan kultural juga manjur untuk menyingkap status quo. Penganut teori kritis mazhab Frankfurt mempersoalkan bangunan metodologi positivisme sebagai sumber ketidakadilan juga dapat tempat di hati sebagian pengamat dan peminat studi sosial. (Mansour Fakih, 2005: xi-xii)

Membicarakan keadilan sosial, dimulai dengan melakukan kritik-diri masyarakat (self-critic society)—berasal dari dalam masyarakat. Mencurigai setiap kebijakan kelas penguasa—entah itu pendeta, ulama atau birokrasi, merupakan langkah awal yang tepat. Disebabkan kekuasaan senantiasa menyembunyikan kesewenang-wenangan di balik topeng fair play—selalu menyimpan aib di balik jubah demi kebaikan bersama. Mengunting dalam lipatan. Dibungkus rapi dengan selimut budaya dan dikukuhkan dengan legitimasi agama. (Raines, 2003: xix). Bentuknya dapat saja berupa asas hitam di atas putih melalui perundang-undangan dan peraturan daerah dengan alasan demi ketertiban umum, demi menjaga martabat bangsa atau untuk mengukuhkan keistimewaan daerah atau untuk menjaga kesucian agama tertentu.

Untuk meneropong ketimpangan relasi dan organisasi sosial, khazanah ilmu sosial menyediakan pisau bedah alternatif berupa proses morfogenik dan morfostatik. Morfogenesis merujuk pada proses sosial yang cenderung mengembangkan atau mengubah tataran sistem dan struktur tertentu. Sementara morfostastis sebentuk mekanisme yang cenderung menjaga atau mempertahankan segala sesuatu yang telah ada. (Buckley, 1967: 58)

Semakin dikontrol biasanya kian kuat resistensi. Ini sudah jamak dari setiap kebudayaan. Pada tataran inilah analisis jender—yang dipakai kaum feminis dan aktivis perempuan untuk mengurai ketidakadilan sosial—kita dudukan. Untuk memahami analisis jender, pertama harus dijernihkan perbedaan karena jenis kelamin dan perbedaan karena jender. Yang pertama mengacu pada kondisi biologis yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia; sebagai laki-laki atau perempuan. Sesuatu yang tidak dapat digugat, sesuatu yang given. Sedangkan yang kedua merupakan sifat yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dibentuk secara sosial dan kultural. Sesuatu yang dapat berubah dan dipertukarkan seiring perubahan tempat dan waktu. Pada yang kedua inilah analisis jender berhasrat untuk memainkan kartu yang dimilikinya dengan cantik. (Mansour Fakih, 2005: 8-9)

Analisis jender termasuk proses morfogenis dan dikatupkan dalam siklus umpan-balik positif (deviation-amplifying), dimana penyimpangan tidak melulu berkonotasi negatif. Penyimpangan dapat berupa prilaku apa saja dan bisa dilakukan oleh siapa saja yang bertolak dari bentuk struktural yang sudah mapan dan melanggar norma yang sudah baku di masyarakat. Juga perkembangan hubungan sosial yang baru, metode atau strategi baru untuk menyelesaikan persoalan lama. Penyimpangan dalam kutub ini malahan digadang dan disanjung. Tegasnya, penyimpangan jadi modal dan senjata ampuh untuk melawan ketidakadilan sosial dan mencairkan organisasi sosial yang membeku.

Nyatalah persoalan yang dihadapi gerakan perempuan datang dari berbagai penjuru. Tidak saja berjibaku dengan nasib kaumnya yang miskin-papa dan tak terdidik; tantangan yang dihadapi gerakan perempuan juga berasal dari budaya kental patriaki dengan jalinan jaring-jaring struktural yang “membatu” yang diciptakan budayanya sendiri. Tragisnya lagi, semua ketimpangan dan ketidakadilan tersebut dideduksi dari kitab suci dan juga mendapat pembenaran dari norma-norma kulturalnya.

Perempuan hari ini mesti berbesar hati sekaligus tetap waspada karena secara perlahan-lahan analisis jender telah membuka mata dunia; betapa menderitanya perempuan dalam sistem bobrok patriaki. Kaum perempuan hari ini—termasuk kaum feminis dan para aktivis perempuan—mesti berbahagia karena apa yang diperjuangkan selama ini tidak sia-sia. Senantiasa optimis menatap masa depan. Soptimisnya Marx setelah kepindahannya dari Bonn ke Berlin, yang ditulis kepada ayahnya:

Tirai sudah tersingkap, kesucianku mulai menerangi, dan tuhan-tuhan baru harus ditemukan…

Yusriandi Pagarah, kulturalis, bergiat pada Komunitas Perairan Wacana, Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar