Jumat, 27 Februari 2009

Menurut Saya Melfi Itu...

Bagaimana kita hidup
Tanpa memberi harga pada yang sia-sia
Tanpa membikin abadi yang kelak retak
--A. Teuw—

Dari mana ya diawali ceritanya? Ah, dari mana ja dink!
Perkenalan pertama saya dengan fI—begitu saya suka memanggilnya—melalui seorang sahabat yang sudah saya anggap bagian dari diri dan perjalanan hidup saya. Suerrr! Fat ato Neng, begitu biasanya saya memanggilnya. Siang itu, Fat nelpon saya. Sebelumnya Fat juga kirim nomor fI via SMS. Karena sedang makan siang bareng teman-teman tempat kerja, telpon dari Neng tidak saya gubris. Sebab, saya bukanlah tipe orang yang suka pamer menelpon ato menerima telpon di depan orang banyak, apalagi menggumbar kemesraan di tempat yang rame. He10…

Selesai makan, sambil menikmati sepoi-sepoi tiupan angin siang di kafe lantai dua tempat kerja, saya menelpon Neng. “Bang, ado kawan Ana pengen kenalan jo Bang”, begitu terdengar suara di ujung telpon sana. Dari negeri beribu nagari, Ranah Minang yang kian jauh dari jangkauan. Saya hanya ngakak dalam hati. Tapi, gimana ya? Yea, dicoba ja. “Melfi namonyo. Urang Solok. Inyo sadang shalat”, tambah Fat. Saya mengulang nama tersebut beberapa kali: kadang Melfi, kadang Nelfi. Dasar oon ye…Soalnya di Jogja saya punya teman yang namanya Nelfi, Nelfi Roza. Orang Batuampar Payakumbuh.

Baru2 ne Nelfi ke Jogja. Ngakunya ce bulan madu githo. Maklum suaminya yg orang Sulawesi itu ketemunya di Jogja Kota Berhati Nyaman. Ingat pernikahan Nelfi, di ingat jg lagu Nedi Gampo jo One. "Danga2 istrinyo sasamo kuliah", kilah One. "Iyo la. Masak kawan samo main koa", jawab Gampo. Meski bajak laut, suamimu guanteang jg ya Nel.Hua3...

Setelah fI shalat, barangkali masih dalam balutan mukena, saya dan fI bercerita barang beberapa pukul kata dan jurus mukaddimah perkenalan. Mang silat, pake istilah pukul dan jurus segala! Hi3…Sejujurnya waktu itu suara fI saya rasakan bergetar, grogi…Pokoke campur2! Kenapa ya? Apa karena denger suara saya yang amboi dan aduhai? He3.. Sejujurnya, waktu itu hati saya bergetar dan jantung saya berdetak tidak seperti biasanya. Kata orang Jawa: Ono opo iki? Setelah saya pikir2, saya temukan jawabannya: Ohh iki jebule…Bukankah momen seperti ini yang saya pinta?

Demikianlah dari hari ke hari, di antara kami terjalin komunikasi yang kian intens, baik via telpon, SMS, dan sesekali memanfaatkan budi baik Yahoo Messenger, alias catting. Ceilee...Tak lama antaranya, kira2 jeda beberapa waktu githo, kami saling bertukar foto via YM. Wow, manis juga tu doski. Herannya, kok baru sekarang ya, apa yang terpahat di hati saya, dikabulkan Tuhan. Dari dulu, meminjam istilah Oom Jose Morinho—saya pengen bangets punya “the special one” hitam manis. Jauh sebelum kenal fI, saya telah menulis daftar keinginan saya begini: Pria yang berharap berjodoh dengan cewek hitam manis, rambut sepinggang, berkacamata minus bingkai hitam—mujur dapet dokter kandungan ini—lahir berdekatan dengan kecamuk Revolusi Iran dan amat hampir jaraknya dengan penemuan virus HIV AIDS di Amerika, bla bla…

Saya pun terkenang dengan sebuah kata bijak, yang entah milik sesiapa dan dari mana saya pungut: Tuhan tidak akan mengabulkan doa-doa kamu. Tapi akan menganugerahkan apa yang kamu butuhkan…Saya pun membatin akan memperjuangkan aspirasi hati saya sampai ia tegas2 menolak ato sampe saya bosan. Kalo soal janur kuning melengkung depan rumahnya, gak lah. Ehemm3…Seperti kata dosen filsafat saya, gak haram kok seorang profesor menggunakan referensi terjemahan. Saya kira juga gak haram kok memperjuangkan daftar keinginan hati kita. Ihh, kok penganalogian dan qiyasnya gak nyambung yee.. Oh iya dink, satu tentang fatwa halal profesor menggunakan karya terjemahan dan satu lagi masalah kebolehan memperjuangkan apa yang ada di hati saya. Tapi gak pa2 ge. Yang penting sama2 untuk tujuan positif! Ya nggak?

++++

Bermimpilah
Karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu
--Andrea Hirata—

Baru beberapa waktu kenal fI, tanpa saya nyana sebelumnya, saya mendapat kabar yang mungkin bagi sebagian orang—barangkali fI juga menganggapnya demikian—amat berat diterima. Wajar kok. Ya, di sore yang cerah itu, via YM, seseorang yang mengaku teman dekat fI mengabari kalo fI mengidap penyakit yang terbilang berbahaya. Awalnya, saya tidak percaya karena saya kira ia sedang bercanda ato sedang ngetes saya. Tapi karena terus diceritakan dan diyakinkan, sampai-sampai ia bersumpah, akhirnya saya percaya. Waktu itu, saya terkejut, juga antara percaya dan tidak percaya. “Masak iya ce?”, batin saya kala itu.

Tapi yang menjadi fokus saya kemudian malahan bukan soal penyakit yang diidap fI. Melainkan sebuah pertanyaan di hati saya: Kenapa ya teman fI itu mengabarkan dan menceritakan ihwal aib sahabatnya itu? Padahal antara saya dan dia tidak saling kenal, bahkan sampai saat ini. Namun, dari gaya bahasanya, saya menyimpulkan kalau sohib fI itu percaya banget sama saya. Itu hasil tebakan saya ja kok. Maklum, dulunya saya termasuk penggila TTS. Maniak malah. Pastinya, tentu sahabat fI yang teu alasan yang sesungguhnya. Tapi kok bisa ya? Meneketehek, coy…

Jeda beberapa waktu kemudian, Tuhan menjawab kegelisahan saya itu melalui artikel “Kentut” Butet Kertaradjasa, pemeran SBY di dagelan “Republik Mimpi” yang ditayangkan salah satu televisi nasional, di Rubrik Teroka Harian Kompas saban Sabtu. Konteks tulisan “Si Butet Jogja” itu adalah mengkritisi sikap para politisi yang merusak keindahan kota dengan janji-janji manisnya melalui iklan, baliho, spanduk, dan selebaran. Kata Butet, mana ada politisi yang menunjukan aibnya? Malahan, melakukan kebohongan publik dengan mengiklankan yang bukan dirinya. Demokratlah, politisi bersihlah, anti KKN lah, anti poligami lah, dan lain sebagainya…Kata Butet lagi, pasangan yang sejati adalah menunjukan aib dirinya ato bicara apa adanya. Istilah Butet, "berani terkentut di dekat pasangannya".

Dari waktu ke waktu, saya merasa fI itu “gue bangets”, meski pun saya sadar saya harus berjuang dan bersaing untuk itu. Pertama, fI itu anak perempuan satu-satunya dalam keluarga, kakak perempuan, dan kebanggaan keluarga. Pastinya agak dimanja dan diistimewakan dalam banyak hal. Kedua, fI itu disukai banyak orang. Ketiga, orang tipe fI itu cari pasangan yang agamanya kuat dan mampu jadi imam bagi dirinya. Belakangan saya juga tau kalo fI pengen merasakan getar-getar taaruf. Keempat, fI punya riwayat yang kurang baik dengan laki-laki.

Dari empat item ini, item yang pertama dan keeempat yang berat bagi saya. Meskipun item lainnya juga tak kalah sulitnya. Kata Mas Tukul, hari gini cari cinta, capeee dehhh! Makan tu cinta! Yea.. Kalo yang kedua itu hal yang lumrah bagi sesiapa saja. Prinsip saya: kalo kita saja yang suka, sementara yang lain gak, barangkali perlu periksa mata ke dokter. Siapa tau katarak! Terangnya: saya siap bersaing! He3… Meski debatable dan bisa nego, item ketiga juga agak berat. Itu hak perogatif fI dan restu Yang Kuasa. Sedangkan item terakhir, juga tantangan berat. Dari serangkaian diskusi dan cerita2 dengan fI, saya simpulkan bahwa masa lalu itu masih membekas di diri fI. Bagi saya, semua orang tentu punya masa lalu, apakah yang baik ato yang buruk. Seseorang tentu tidak bisa dipaksa begitu saja meninggalkan masa lalunya. Meskipun mendiang Kuntowijoyo pernah menitahkan, orang yang berjalan sambil menengok ke belakang adalah tipikal orang penakut. Tapi itu lain pasal…Faslun, bermula ini itu satu pasal. He3...

++++

Lebih baik bertanya dengan mencari
Daripada menemukan dengan menjawab
--Goenawan Mohammad—

Setelah sekian lama berkomunikasi off air karena budi baik iptek, lebaran kemaren saya baru berjumpa dengan fI secara live. Lebaran ini sentimentil sifatnya bagi diri saya karena sudah empat kali puasa empat kali lebaran gak mudik. Pokoke mengalahkan lagu dangdut “Bang Toyib”. Bersama seorang teman, saya menjumpai fI di rumahnya di bilangan kaki Gunung Talang yang termasuk memiliki letusan berbahaya di dunia. Tepatnya, di Nagari Sungai Janiah, Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok. Seperti kisah-kisah film India atau sinetron di SCTV, pertemuan pertama termasuk heroik dan gregetan. Sebelum sampai di lokasi target, banyak rintangan di jalan, seperti macet dan hujan. Beberapa kali harus berteduh. Untungnya gak berdarah-darah, seperti halnya Arjun mendapatkan hati Safna. Pokoke jangan mpe India bangets, bro…!

Acara kopi darat alias kopdar yang sangat berkesan bagi saya. Sejujurnya, meskipun sampai saat ini saya masih sungkan sama fI, tapi waktu bertemu pada hari raya itu tak sedikit pun saya merasa sungkan, grogi, ato apalah namanya. Bahkan, serasa di rumah sendiri (Amin), ato bertemu dengan sahabat lama. Menurut saya, malahan fI yang grogi dan agak gimana githo. Nal—nama sahabat saya ke rumah fI—juga heran dengan kedekatan kami: saya dan fI. Padahal ini adalah pertemuan pertama kami. Hal yang masih saya simpan dalam etalase memori adalah saat2 berdua dengan fI di meja makan. Karena Nal duluan meninggalkan area untuk memenuhi “koto tangah” itu. Kesempatan itu pun tidak saya sia-siakan dengan berbicara empat mata dengan fI dalam suasana gayeng. Terutama berdebat soal gulai ikan, menu favorit saya, yang sengaja dimasak fI untuk sapa ya? He3… Dan, so pasti momen-momen yang tak terlupakan ketika menikmati lekat-lekat dan dari dekat wajah dan mata fI yang bercahaya. Uhuy…Meskipun waktu itu fI agak sakit, entah karena apa, tapi tetap saja cahaya itu tidak pudar. Suerrrr dab! Thx God.

Kedua kalinya, saya bertemu fI di kosnya di Lubuak Lintah, Padang. Kalo gak salah Jumat sore. Saya ke kos fI bersama Ade—anak dari keponakan Bapak. Di sana pun saya dan Ade dijamu fI dengan gulai ikan lagi. Kok menunya itu-itu terus? Di sana saya bertemu dengan fA, anak dari kakak ibu guru waktu di sekolah di Lima Kaum, yang mengira kalo saya itu bertubuh agak berisi. Kacihan lo. Hi10… Juga dengan Wira yang lumayan gayeng dan senior kos, Ayu, sang perajut cinta. Huah3… Pertemuan kedua ini gayeng banget, apalagi masih dalam suasana lebaran. Juga ditimpali dengan perdebatan sengit, entah mendebatkan apa, antara Ade dan fA. Meski belum mau pulang, tetap saja saya harus meninggalkan kos fI. Ini kawasan adat bersendi syarak, Bung!

Di Fakultas Tarbiyah adalah pertemuan ketiga saya dengan fI. Waktu itu saya heran, kenapa fA harus mengambil jalan lain dengan fI sebelum bertemu saya. Tak lama kemudian, kami sarapan di kafe Syariah. Selain kami bertiga, menyusul kemudian Ilham dan Fat. Abiz Zuhur saya dan fI pergi ke Taplau, lokasi yang sudah saya akrabi sejak tahun 1999. Tapi karena sejak 2004, tidak pernah ke sana lagi, tetap saja merasa asing dengan tempat favorit melepas bosan warga Kota Padang ini. Kami baru beranjak meninggalkan Taplau ketika azan Magrib berkumandang dari masjid terdekat dan dibarengi rintik hujan. Sehabis shalat Magrib, kami pun pulang. Keesokan paginya adalah pertemuan terakhir saya dengan fI. Minggu malam saya harus sampai di rumah. Sebab, Senin siang harus pulang ke Jawa.

++++

Saya ingin menanggalkan sepatu perjalanan yang berat
Dan menggantinya dengan sandal rumah yang ringan
--WS Rendra—

Setelah di Jogja, komunikasi dengan fI tetap lancar, meski terkadang melibatkan emosi dan rasa gimana di hati. Momen yang paling berkesan adalah tanggal 1 Januari 2009. Pas ngungkapan apa yang terasa di hati. "La awak caliak ka hilia, caliak ka mudiak. Baitu juo la awak layangkan pandang ka ateh dan ka bawah, fI juo nan nampaknyo. Ha3... Saya lakukan ini karena saya takut terlambat. Saya tidak pengen jaim. Kalo suka, bilang saja suka. Kalo tidak, bilang tidak. Apa yang saya alami waktu puber dulu tidak pengen terulang lagi. Waktu itu, sebenarnya antara saya dengan yang saya taksir waktu remaja itu sama-sama suka. Tapi karena jaim dan gengsi akhirnya sia-sia. Tahun 2009 ini, saya bertekad untuk membahagiakan hati saya. Saya akan berusaha memperjuangkan aspirasi hati saya. Apapun hasilnya, itu soal lain.

Momen2 fI skripsi juga saya nikmati. Sejujurnya masa-masa itu melibatkan emosi saya, amat dalam malah. Dan, yang paling menegangkan adalah waktu fI ujian skripsi. Yang berakhir dengan skor 1 : 1. fI ngerjain saya, saya pun gak mau kalah. Terus, yang berkesan adalah waktu fI nangis tanggal 1 Februari kemaren, hari ulang tahun saya. Terakhir, adalah ketika fI mau pulang ke Talang. Sampai-sampai fI mau nanya ma keluarga segala. He3…

Mungkin di antara pembaca ada yang pengen tau, mengapa saya suka sama fI? Yea… Pertama, karena fI laki-laki dan saya perempuan, eee kebalik dink, karena fI perempuan dan saya laki-laki. Melly Goeslaw bangest! Kedua, karena fI dan saya berbeda. fI terbiasa tertib dan disiplin, sedang saya orangnya urakan. Tapi, bukankah perbedaan adalah kesempurnaan? Ketiga, apa ya, ya because i love you...Karena suka ja. Tapi saya gak bisa menjanjikan apa-apa sama fI. Saya lebih bisa menerima dibilang penakut dan pengecut ketimbang dicap pengkhianat dan ingkar janji. Ibarat orang bermimpi, saya lebih senang fI itu mengalami mimpi buruk daripada mimpi indah. Maksud lo? Kalo mimpi buruk, pas bangun ternyata hanya mimpi, Alhamdulillah, bersyukur kejadian buruk itu hanya dalam mimpi…Kalo mimpi indah, udah serasa kemana-mana, eee ternyata hanya mimpi…Busyet deh…

Hai, pembaca yang budiman. Kata orang, saya dan fI sehati. Teman saya dan juga teman fI sepakat demikian. Malah ada yang mengatakan sesuatu pada saya: Muliakan perempuan dengan menikahinya! Saya pun tau caranya: Kalo suka ma anak gadis orang, bilang pada orang tuanya. Kalo senang pada kemenakan orang, temui mamaknya.

Seperti halnya "surat Rendra kepada Bundanya tentang calon menantunya", saya juga pengen menanggalkan "sepatu perjalanan" yang berat, dan menggantinya dengan "sandal rumah" yang ringan..

Tapi, siapkah fI menggantungkan "isi periuk" pada tulisan yang entah kapan dimuat?

Lebih jauh dari itu: fI, apa benar kita sehati?

Seperti pertanyaan-pertanyaan terdahulu, pertanyaan ini pun tidak perlu dijawab. Sebab saya sudah tau jawabnya...


Met Wisuda ya fI…
Met S.Pd.I. Sunnah
Moga selalu bahagia
Amin.



YAP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar