Jumat, 06 Maret 2009

Pendidik, Bukan Pemburu

Oleh RHENALD KASALI

Hari Senin, 2 Maret 2009, David H Wijaya, mahasiswa pintar asal Indonesia, tewas di Nanyang Tech University, Singapura.

Semula, diberitakan ia kepepet, menusuk profesornya, lalu bunuh diri. Kejadian seperti ini sering dilihat dari sisi kriminalitas (urusan polisi). Namun, benarkah demikian?

Kalau David masih hidup, para pendidik bisa belajar banyak darinya. Versi lain menyebutkan, David bukan pencemas, kurang pandai bergaul, atau rendah kecerdasan sosialnya. Akan ada versi-versi lain yang perlu dilihat dari kacamata pendidikan.

Naluri saya yang bergelut di bidang pendidikan selama lebih dari 20 tahun mengatakan sebaliknya. Besar kemungkinan mereka adalah korban dari sistem dan perilaku pemburu dalam pendidikan. Apalagi Pemerintah Singapura amat berkepentingan memburu anak-anak pintar etnis tertentu untuk mengimbangi populasi bangsanya.

Jadi, diperlukan kehati-hatian dalam menafsirkan versi awal yang tidak dilandasi pada cara berpikir dari kacamata pendidikan.

Pemburu bukan pendidik

Bangku sekolah tentu bukan hutan belantara yang didiami aneka satwa liar nan buas. Sekolah adalah entitas sosial yang mendidik masyarakat agar hidup dalam peradaban ilmiah, saling menghargai, dan mencapai kesejahteraan atau kebahagiaan.

Namun, entah mengapa, sekolah telah berubah menjadi lembaga yang meresahkan anak didik. Bukan pemburu bersenjata, melainkan guru yang menuntut bekerja tertib, berkompetisi, dan prestasi akademis.

Daripada menghargai keunikan masing-masing, kita membuat standar, lalu menempatkan mereka dalam struktur dan ranking. Akibatnya, bersaing mengejar ranking dan berebut masuk standar untuk mendapat pengakuan, beasiswa, dan penghargaan. Mereka yang memiliki keunikan dianggap bodoh meski di masyarakat terbukti sukses dan karya- karya mereka amat dihargai.

Guru, atau dosen, yang mengabaikan faktor keunikan anak didiknya adalah pemburu, dan bagi saya pemburu bukan pendidik. Pemburu menatap tajam anak didiknya yang tak masuk ranking, menghukum dan kadang menyiksa. Di televisi sering kita saksikan rekaman gambar guru yang menyiksa murid-muridnya.

Anak-anak pintar pun tak luput dari ”penyiksaan” pemburu. Mereka dituntut menunjukkan kehebatan dan selesai lebih cepat dari jadwal. Keunikan masing-masing tidak diterima sebagai kehebatan.

Saat mengepalai program doktor, saya sering terpaksa menggeser penguji, bukan karena mereka kurang hebat, tetapi karena lebih cocok jadi pemburu. Pemburu membombardir anak didiknya dengan berbagai pertanyaan sinis, out of context, dengan tujuan menjatuhkan daripada membantu mereka menemukan masa depannya.

Sisi anak didik

David mungkin saja tidak memiliki kecerdasan sosial dan emosional seperti kata sejumlah kalangan. Namun, para guru di BPK Penabur mengatakan, David bukan penyendiri. Di kampus, ia juga aktif dalam kegiatan olahraga dan menjadi utusan Indonesia dalam Olimpiade Matematika di Meksiko. Karena David sudah tiada, mungkin kita bisa belajar dari David-David lain.

Di Orinda, California, pada tahun 1985, seorang anak perempuan membunuh teman sekelasnya yang pintar dan populer. Saat diinterogasi polisi dan diperiksa kesehatan jiwanya, diketahui ia merasa tertekan karena dirinya nothing, invisible (tak ada yang menghiraukan), dan worthless (tak bernilai).

Perasaan dan pikiran yang demikian membentuk keyakinan (belief). Matthew McKay dan Patrick Fanning (1991) bahkan menyebutkan, banyak sekali anak didik yang memiliki keunikan menjadi prisoners of belief (narapidana keyakinan) yang membuat mereka tidak bahagia dan sulit mengendalikan diri.

Pada masa krisis kita akan banyak bergulat dengan narapidana-narapidana keyakinan yang terbelenggu dan sulit menerima kesulitan hidup, kegagalan, dan aneka keterbatasan, baik karena peristiwa ekonomi maupun kepemimpinan atasan yang buruk. Mereka memaksa dirinya masuk dalam standar dan menyangkal keunikan dirinya semata-mata karena belenggu sekolah.

Keyakinan inti (core-belief) tak pernah disentuh para pendidik karena banyak sebab. Pertama, tak sedikit pendidik yang juga menjadi narapidana keyakinan. Kedua, diperlukan therapy, dan therapy ini bukan kurikulum inti yang dianggap penting oleh pengelola pendidikan. Ketiga, tak banyak orang paham men-therapy belief seseorang.

10 elemen

Saya pernah memasukkannya, dan hingga kini masih menggunakannya untuk membongkar belenggu-belenggu yang mengikat anak didik, tetapi pengalaman mengatakan, implementasinya banyak menemui hujatan dari para ”pemburu”. Untuk mencegah kasus David-David lain, kita harus memeriksa core-belief inventory yang tersembunyi di balik pikiran anak-anak didik dan para pendidik. Inventory ini terdiri dari 10 elemen, yaitu percaya diri, rasa nyaman, kontrol diri, cinta, otonomi, keluarga, rasa adil, kinerja, perubahan, kepercayaan (trust).

Elemen-elemen itu dapat dibagi tiga: rasa percaya, hubungan personal, dan pengendalian hidup. Ketiganya memengaruhi tingkat kecemasan, pengambilan keputusan, asumsi terhadap orang lain, ketenangan/kecemasan, dan keberhasilan hidup.

Kategori pertama diwakili oleh percaya diri dan perasaan bernilai, percaya kepada orang lain, dan merasa diperlakukan adil. Monolognya mengalir dalam pernyataan seperti ”saya cukup bernilai”, ”mereka dapat dipercaya”, ”mereka memperlakukan saya dengan adil”.

Kategori kedua, kenyamanan, cinta (love), dan keluarga (belonging). Orang-orang yang hidupnya seimbang cenderung penuh cinta dan ada yang memikirkan. Kata mereka, ”Kalau hari ini saya hilang, pasti ada yang kehilangan dan menangisi kepergian saya.”

Kategori ketiga, kemampuan kita mengendalikan diri sendiri, pekerjaan/sekolah (kinerja), kemandirian, dan pengambilan risiko (perubahan). Kelompok terakhir ini dapat disimpulkan dengan pernyataan ”saya bisa mengendalikan dorongan-dorongan liar dalam jiwa saya”, ”saya punya prestasi”, ”saya cukup punya otoritas”, serta ”kalau menjadi lebih baik, mengapa takut menghadapi perubahan”.

Andaikan David masih ada dan polisi Singapura cukup terbuka, mungkin kita bisa menemukan jawabnya dengan memeriksa kesepuluh elemen itu, baik pada David maupun dosen pembimbingnya.

Dari pengalaman anak-anak didik yang dianggap bermasalah oleh para gurunya, diyakini David bukan anak jahat atau lemah kecerdasan sosialnya. David telah menjadi ”narapidana keyakinan” yang tersudut dalam hutan perburuan dan kita tak memberikan ruang untuk membebaskan atau menghargai keunikannya.

Rhenald Kasali Pengajar di Universitas Indonesia

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/07/03214961/pendidik..bukan.pemburu

Super Brokoli Untuk Penderita Kanker

Para peneliti yang peduli dengan para penderita kanker, kini mencoba membudidayakan tumbuhan brokoli dengan ukuran super. Hal ini diharapkan bisa menurunkan angka kesakitan terhadap penyakit tersebut. Brokoli dipercaya bisa menghindarkan seseorang dari penyakit kanker. Hal itu juga yang diyakini Institut Penelitian mengenai Makanan (IRF) di Inggris. Menurut mereka, brokoli yang berwarna hijau itu, memiliki unsur kimia bernama sulforaphane yang dipercaya bisa menahan efek berkelanjutan dari kanker.

Karena asumsi itu pula, berarti secara logika, bila kita bisa memproduksi tumbuhan ini dalam kapasitas super, maka unsur kimia yang disebutkan tadi juga akan berkapasitas dan berdaya guna lebih besar. "Mengkonsumsi brokoli dengan porsi besar atau brokoli dengan level sulforaphane tinggi, kemungkinan para penderita kanker bisa lebih minimal mengalami potensi
kesakitan," ucap Koordinator Penelitian, Profesor Richard Mithen, pada situs BBC, baru-baru ini.

Brokoli dikenal sebagai keluarga sayuran yang sejenis dengan kubis, kol dan kangkung. Kebanyakan sayuran tersebut mengandung unsur glucosinolates berkadar tinggi. Selain itu, jenis sayuran yang memiliki unsur sulforaphane, dipercaya sebagai satu-satunya obat penekan
penyebaran kanker dalam tubuh. Super brokoli diperkirakan berukuran paling tidak lebih besar tiga perempat kali jenis brokoli biasa.

Sumber: http://forum.kompas.com/showthread.php?p=387543#post387543

Jumat, 27 Februari 2009

Menurut Saya Melfi Itu...

Bagaimana kita hidup
Tanpa memberi harga pada yang sia-sia
Tanpa membikin abadi yang kelak retak
--A. Teuw—

Dari mana ya diawali ceritanya? Ah, dari mana ja dink!
Perkenalan pertama saya dengan fI—begitu saya suka memanggilnya—melalui seorang sahabat yang sudah saya anggap bagian dari diri dan perjalanan hidup saya. Suerrr! Fat ato Neng, begitu biasanya saya memanggilnya. Siang itu, Fat nelpon saya. Sebelumnya Fat juga kirim nomor fI via SMS. Karena sedang makan siang bareng teman-teman tempat kerja, telpon dari Neng tidak saya gubris. Sebab, saya bukanlah tipe orang yang suka pamer menelpon ato menerima telpon di depan orang banyak, apalagi menggumbar kemesraan di tempat yang rame. He10…

Selesai makan, sambil menikmati sepoi-sepoi tiupan angin siang di kafe lantai dua tempat kerja, saya menelpon Neng. “Bang, ado kawan Ana pengen kenalan jo Bang”, begitu terdengar suara di ujung telpon sana. Dari negeri beribu nagari, Ranah Minang yang kian jauh dari jangkauan. Saya hanya ngakak dalam hati. Tapi, gimana ya? Yea, dicoba ja. “Melfi namonyo. Urang Solok. Inyo sadang shalat”, tambah Fat. Saya mengulang nama tersebut beberapa kali: kadang Melfi, kadang Nelfi. Dasar oon ye…Soalnya di Jogja saya punya teman yang namanya Nelfi, Nelfi Roza. Orang Batuampar Payakumbuh.

Baru2 ne Nelfi ke Jogja. Ngakunya ce bulan madu githo. Maklum suaminya yg orang Sulawesi itu ketemunya di Jogja Kota Berhati Nyaman. Ingat pernikahan Nelfi, di ingat jg lagu Nedi Gampo jo One. "Danga2 istrinyo sasamo kuliah", kilah One. "Iyo la. Masak kawan samo main koa", jawab Gampo. Meski bajak laut, suamimu guanteang jg ya Nel.Hua3...

Setelah fI shalat, barangkali masih dalam balutan mukena, saya dan fI bercerita barang beberapa pukul kata dan jurus mukaddimah perkenalan. Mang silat, pake istilah pukul dan jurus segala! Hi3…Sejujurnya waktu itu suara fI saya rasakan bergetar, grogi…Pokoke campur2! Kenapa ya? Apa karena denger suara saya yang amboi dan aduhai? He3.. Sejujurnya, waktu itu hati saya bergetar dan jantung saya berdetak tidak seperti biasanya. Kata orang Jawa: Ono opo iki? Setelah saya pikir2, saya temukan jawabannya: Ohh iki jebule…Bukankah momen seperti ini yang saya pinta?

Demikianlah dari hari ke hari, di antara kami terjalin komunikasi yang kian intens, baik via telpon, SMS, dan sesekali memanfaatkan budi baik Yahoo Messenger, alias catting. Ceilee...Tak lama antaranya, kira2 jeda beberapa waktu githo, kami saling bertukar foto via YM. Wow, manis juga tu doski. Herannya, kok baru sekarang ya, apa yang terpahat di hati saya, dikabulkan Tuhan. Dari dulu, meminjam istilah Oom Jose Morinho—saya pengen bangets punya “the special one” hitam manis. Jauh sebelum kenal fI, saya telah menulis daftar keinginan saya begini: Pria yang berharap berjodoh dengan cewek hitam manis, rambut sepinggang, berkacamata minus bingkai hitam—mujur dapet dokter kandungan ini—lahir berdekatan dengan kecamuk Revolusi Iran dan amat hampir jaraknya dengan penemuan virus HIV AIDS di Amerika, bla bla…

Saya pun terkenang dengan sebuah kata bijak, yang entah milik sesiapa dan dari mana saya pungut: Tuhan tidak akan mengabulkan doa-doa kamu. Tapi akan menganugerahkan apa yang kamu butuhkan…Saya pun membatin akan memperjuangkan aspirasi hati saya sampai ia tegas2 menolak ato sampe saya bosan. Kalo soal janur kuning melengkung depan rumahnya, gak lah. Ehemm3…Seperti kata dosen filsafat saya, gak haram kok seorang profesor menggunakan referensi terjemahan. Saya kira juga gak haram kok memperjuangkan daftar keinginan hati kita. Ihh, kok penganalogian dan qiyasnya gak nyambung yee.. Oh iya dink, satu tentang fatwa halal profesor menggunakan karya terjemahan dan satu lagi masalah kebolehan memperjuangkan apa yang ada di hati saya. Tapi gak pa2 ge. Yang penting sama2 untuk tujuan positif! Ya nggak?

++++

Bermimpilah
Karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu
--Andrea Hirata—

Baru beberapa waktu kenal fI, tanpa saya nyana sebelumnya, saya mendapat kabar yang mungkin bagi sebagian orang—barangkali fI juga menganggapnya demikian—amat berat diterima. Wajar kok. Ya, di sore yang cerah itu, via YM, seseorang yang mengaku teman dekat fI mengabari kalo fI mengidap penyakit yang terbilang berbahaya. Awalnya, saya tidak percaya karena saya kira ia sedang bercanda ato sedang ngetes saya. Tapi karena terus diceritakan dan diyakinkan, sampai-sampai ia bersumpah, akhirnya saya percaya. Waktu itu, saya terkejut, juga antara percaya dan tidak percaya. “Masak iya ce?”, batin saya kala itu.

Tapi yang menjadi fokus saya kemudian malahan bukan soal penyakit yang diidap fI. Melainkan sebuah pertanyaan di hati saya: Kenapa ya teman fI itu mengabarkan dan menceritakan ihwal aib sahabatnya itu? Padahal antara saya dan dia tidak saling kenal, bahkan sampai saat ini. Namun, dari gaya bahasanya, saya menyimpulkan kalau sohib fI itu percaya banget sama saya. Itu hasil tebakan saya ja kok. Maklum, dulunya saya termasuk penggila TTS. Maniak malah. Pastinya, tentu sahabat fI yang teu alasan yang sesungguhnya. Tapi kok bisa ya? Meneketehek, coy…

Jeda beberapa waktu kemudian, Tuhan menjawab kegelisahan saya itu melalui artikel “Kentut” Butet Kertaradjasa, pemeran SBY di dagelan “Republik Mimpi” yang ditayangkan salah satu televisi nasional, di Rubrik Teroka Harian Kompas saban Sabtu. Konteks tulisan “Si Butet Jogja” itu adalah mengkritisi sikap para politisi yang merusak keindahan kota dengan janji-janji manisnya melalui iklan, baliho, spanduk, dan selebaran. Kata Butet, mana ada politisi yang menunjukan aibnya? Malahan, melakukan kebohongan publik dengan mengiklankan yang bukan dirinya. Demokratlah, politisi bersihlah, anti KKN lah, anti poligami lah, dan lain sebagainya…Kata Butet lagi, pasangan yang sejati adalah menunjukan aib dirinya ato bicara apa adanya. Istilah Butet, "berani terkentut di dekat pasangannya".

Dari waktu ke waktu, saya merasa fI itu “gue bangets”, meski pun saya sadar saya harus berjuang dan bersaing untuk itu. Pertama, fI itu anak perempuan satu-satunya dalam keluarga, kakak perempuan, dan kebanggaan keluarga. Pastinya agak dimanja dan diistimewakan dalam banyak hal. Kedua, fI itu disukai banyak orang. Ketiga, orang tipe fI itu cari pasangan yang agamanya kuat dan mampu jadi imam bagi dirinya. Belakangan saya juga tau kalo fI pengen merasakan getar-getar taaruf. Keempat, fI punya riwayat yang kurang baik dengan laki-laki.

Dari empat item ini, item yang pertama dan keeempat yang berat bagi saya. Meskipun item lainnya juga tak kalah sulitnya. Kata Mas Tukul, hari gini cari cinta, capeee dehhh! Makan tu cinta! Yea.. Kalo yang kedua itu hal yang lumrah bagi sesiapa saja. Prinsip saya: kalo kita saja yang suka, sementara yang lain gak, barangkali perlu periksa mata ke dokter. Siapa tau katarak! Terangnya: saya siap bersaing! He3… Meski debatable dan bisa nego, item ketiga juga agak berat. Itu hak perogatif fI dan restu Yang Kuasa. Sedangkan item terakhir, juga tantangan berat. Dari serangkaian diskusi dan cerita2 dengan fI, saya simpulkan bahwa masa lalu itu masih membekas di diri fI. Bagi saya, semua orang tentu punya masa lalu, apakah yang baik ato yang buruk. Seseorang tentu tidak bisa dipaksa begitu saja meninggalkan masa lalunya. Meskipun mendiang Kuntowijoyo pernah menitahkan, orang yang berjalan sambil menengok ke belakang adalah tipikal orang penakut. Tapi itu lain pasal…Faslun, bermula ini itu satu pasal. He3...

++++

Lebih baik bertanya dengan mencari
Daripada menemukan dengan menjawab
--Goenawan Mohammad—

Setelah sekian lama berkomunikasi off air karena budi baik iptek, lebaran kemaren saya baru berjumpa dengan fI secara live. Lebaran ini sentimentil sifatnya bagi diri saya karena sudah empat kali puasa empat kali lebaran gak mudik. Pokoke mengalahkan lagu dangdut “Bang Toyib”. Bersama seorang teman, saya menjumpai fI di rumahnya di bilangan kaki Gunung Talang yang termasuk memiliki letusan berbahaya di dunia. Tepatnya, di Nagari Sungai Janiah, Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok. Seperti kisah-kisah film India atau sinetron di SCTV, pertemuan pertama termasuk heroik dan gregetan. Sebelum sampai di lokasi target, banyak rintangan di jalan, seperti macet dan hujan. Beberapa kali harus berteduh. Untungnya gak berdarah-darah, seperti halnya Arjun mendapatkan hati Safna. Pokoke jangan mpe India bangets, bro…!

Acara kopi darat alias kopdar yang sangat berkesan bagi saya. Sejujurnya, meskipun sampai saat ini saya masih sungkan sama fI, tapi waktu bertemu pada hari raya itu tak sedikit pun saya merasa sungkan, grogi, ato apalah namanya. Bahkan, serasa di rumah sendiri (Amin), ato bertemu dengan sahabat lama. Menurut saya, malahan fI yang grogi dan agak gimana githo. Nal—nama sahabat saya ke rumah fI—juga heran dengan kedekatan kami: saya dan fI. Padahal ini adalah pertemuan pertama kami. Hal yang masih saya simpan dalam etalase memori adalah saat2 berdua dengan fI di meja makan. Karena Nal duluan meninggalkan area untuk memenuhi “koto tangah” itu. Kesempatan itu pun tidak saya sia-siakan dengan berbicara empat mata dengan fI dalam suasana gayeng. Terutama berdebat soal gulai ikan, menu favorit saya, yang sengaja dimasak fI untuk sapa ya? He3… Dan, so pasti momen-momen yang tak terlupakan ketika menikmati lekat-lekat dan dari dekat wajah dan mata fI yang bercahaya. Uhuy…Meskipun waktu itu fI agak sakit, entah karena apa, tapi tetap saja cahaya itu tidak pudar. Suerrrr dab! Thx God.

Kedua kalinya, saya bertemu fI di kosnya di Lubuak Lintah, Padang. Kalo gak salah Jumat sore. Saya ke kos fI bersama Ade—anak dari keponakan Bapak. Di sana pun saya dan Ade dijamu fI dengan gulai ikan lagi. Kok menunya itu-itu terus? Di sana saya bertemu dengan fA, anak dari kakak ibu guru waktu di sekolah di Lima Kaum, yang mengira kalo saya itu bertubuh agak berisi. Kacihan lo. Hi10… Juga dengan Wira yang lumayan gayeng dan senior kos, Ayu, sang perajut cinta. Huah3… Pertemuan kedua ini gayeng banget, apalagi masih dalam suasana lebaran. Juga ditimpali dengan perdebatan sengit, entah mendebatkan apa, antara Ade dan fA. Meski belum mau pulang, tetap saja saya harus meninggalkan kos fI. Ini kawasan adat bersendi syarak, Bung!

Di Fakultas Tarbiyah adalah pertemuan ketiga saya dengan fI. Waktu itu saya heran, kenapa fA harus mengambil jalan lain dengan fI sebelum bertemu saya. Tak lama kemudian, kami sarapan di kafe Syariah. Selain kami bertiga, menyusul kemudian Ilham dan Fat. Abiz Zuhur saya dan fI pergi ke Taplau, lokasi yang sudah saya akrabi sejak tahun 1999. Tapi karena sejak 2004, tidak pernah ke sana lagi, tetap saja merasa asing dengan tempat favorit melepas bosan warga Kota Padang ini. Kami baru beranjak meninggalkan Taplau ketika azan Magrib berkumandang dari masjid terdekat dan dibarengi rintik hujan. Sehabis shalat Magrib, kami pun pulang. Keesokan paginya adalah pertemuan terakhir saya dengan fI. Minggu malam saya harus sampai di rumah. Sebab, Senin siang harus pulang ke Jawa.

++++

Saya ingin menanggalkan sepatu perjalanan yang berat
Dan menggantinya dengan sandal rumah yang ringan
--WS Rendra—

Setelah di Jogja, komunikasi dengan fI tetap lancar, meski terkadang melibatkan emosi dan rasa gimana di hati. Momen yang paling berkesan adalah tanggal 1 Januari 2009. Pas ngungkapan apa yang terasa di hati. "La awak caliak ka hilia, caliak ka mudiak. Baitu juo la awak layangkan pandang ka ateh dan ka bawah, fI juo nan nampaknyo. Ha3... Saya lakukan ini karena saya takut terlambat. Saya tidak pengen jaim. Kalo suka, bilang saja suka. Kalo tidak, bilang tidak. Apa yang saya alami waktu puber dulu tidak pengen terulang lagi. Waktu itu, sebenarnya antara saya dengan yang saya taksir waktu remaja itu sama-sama suka. Tapi karena jaim dan gengsi akhirnya sia-sia. Tahun 2009 ini, saya bertekad untuk membahagiakan hati saya. Saya akan berusaha memperjuangkan aspirasi hati saya. Apapun hasilnya, itu soal lain.

Momen2 fI skripsi juga saya nikmati. Sejujurnya masa-masa itu melibatkan emosi saya, amat dalam malah. Dan, yang paling menegangkan adalah waktu fI ujian skripsi. Yang berakhir dengan skor 1 : 1. fI ngerjain saya, saya pun gak mau kalah. Terus, yang berkesan adalah waktu fI nangis tanggal 1 Februari kemaren, hari ulang tahun saya. Terakhir, adalah ketika fI mau pulang ke Talang. Sampai-sampai fI mau nanya ma keluarga segala. He3…

Mungkin di antara pembaca ada yang pengen tau, mengapa saya suka sama fI? Yea… Pertama, karena fI laki-laki dan saya perempuan, eee kebalik dink, karena fI perempuan dan saya laki-laki. Melly Goeslaw bangest! Kedua, karena fI dan saya berbeda. fI terbiasa tertib dan disiplin, sedang saya orangnya urakan. Tapi, bukankah perbedaan adalah kesempurnaan? Ketiga, apa ya, ya because i love you...Karena suka ja. Tapi saya gak bisa menjanjikan apa-apa sama fI. Saya lebih bisa menerima dibilang penakut dan pengecut ketimbang dicap pengkhianat dan ingkar janji. Ibarat orang bermimpi, saya lebih senang fI itu mengalami mimpi buruk daripada mimpi indah. Maksud lo? Kalo mimpi buruk, pas bangun ternyata hanya mimpi, Alhamdulillah, bersyukur kejadian buruk itu hanya dalam mimpi…Kalo mimpi indah, udah serasa kemana-mana, eee ternyata hanya mimpi…Busyet deh…

Hai, pembaca yang budiman. Kata orang, saya dan fI sehati. Teman saya dan juga teman fI sepakat demikian. Malah ada yang mengatakan sesuatu pada saya: Muliakan perempuan dengan menikahinya! Saya pun tau caranya: Kalo suka ma anak gadis orang, bilang pada orang tuanya. Kalo senang pada kemenakan orang, temui mamaknya.

Seperti halnya "surat Rendra kepada Bundanya tentang calon menantunya", saya juga pengen menanggalkan "sepatu perjalanan" yang berat, dan menggantinya dengan "sandal rumah" yang ringan..

Tapi, siapkah fI menggantungkan "isi periuk" pada tulisan yang entah kapan dimuat?

Lebih jauh dari itu: fI, apa benar kita sehati?

Seperti pertanyaan-pertanyaan terdahulu, pertanyaan ini pun tidak perlu dijawab. Sebab saya sudah tau jawabnya...


Met Wisuda ya fI…
Met S.Pd.I. Sunnah
Moga selalu bahagia
Amin.



YAP

Selasa, 24 Februari 2009

Palung Laut, Elang Langit

Yetti A.KA

Tentang anak-anak, masih ingin aku menantinya di ujung harapan yang tiada berbatas. Menjalin rindu sampai lelah menjawabnya di akhir hari-hari yang panjang. Dan aku tidak menyerah. Bermain-main harapan, bermain-main khayal, bermain-main impian.

Sebagaimana pernah kau katakan, “Anak kita lelaki! Semoga kau paham.” Maka suatu kali aku sungguh-sungguh ingin memahami mereka sebagai lelaki. Menegakkan wajah ke langit dengan dada getar, dan kupersembahkan nama anak-anakku pada zaman yang memintanya. Mesti dadaku pecah dan kosong. Tak apa. Tapi ada yang kita lupakan tentang ritual itu, sebuah cinta yang tidak mungkin terbunuh. Karenanya aku sering menangis.

Aku tidak lupa saat akhirnya mereka pamit dengan wajah yang baja. Saat itu aku menemukan mereka telah sangat berbeda. Mata yang lebih tajam dan tidak mampu lagi kumaknai sebagai bahasa yang teduh. Aku lalu berkata dengan wajah tertunduk,”Pergilah, Anakku. Pergilah, Nak!” Kusimpan kata lain yang semestinya juga kukatakan: Kembali, Nak! Kembali!

Kau tiba-tiba mengingatkan aku akan sesuatu: Anak kita lelaki dan akan pulang kepadamu. Tapi aku tidak ingin percaya. Hati telah belah. Ingin aku tak memahami perasaanku yang sesungguh.

Aku ingin lebih tulus melepas anak-anakku dengan tanpa harapan apa-apa. Kuantar dengan mataku sampai ke ujung yang hingga tanpa kusadari aku telah kehilangan mereka di sebuah hari. Sepi menikamku seketika. Kosong yang terasa aneh, namun aku mulai terbiasa. Lalu nama anak-anakku menjadi bunga-bunga yang selalu mekar di musimnya. Aku merasa telah bahagia.

Keberanian itulah yang ingin tetap kujaga sebagai sebuah pilihan, entah apa kau akan memahaminya. Sebagai impian yang kusemai di taman, aku ingin anak-anakku kelak menghiaskan setangkai melati di rambutku. Pulang saat laut menyingggahi tepian, sehingga mereka akan tahu serupa apa harapan yang kubangun antara getar dada yang tak pernah reda. Waktulah yang akan mengantar anak-anak kepadaku. Sebab aku seorang ibu.

***

Ingat kau tentang rumah kayu tanpa pagar? Beranda yang luas dengan hiasan anggrek ungu dekat tangga. Seluruh halaman ditumbuhi rumput Belanda yang halus lagi hijau segar. Beberapa lepau bambu berjejer di bawah pohon yang berpuluh-puluh batang.

Setiap kau pulang akan kau temukan tawa anak-anak pecah di antara desau angin. Melihat bola mata mereka yang begitu hidup. Di sana akan kau dapatkan telaga bening tempat ribuan mimpi berenang. Dan kau akan tahu keindahan surga itu sesungguhnya ada di hati anak-anak. Amat dekat dengan kita. Maka kita berbahagia karena telah menemukannya.

Tapi sayang sekali kau hanya akan pulang sesekali saja. Kau tidak akan melihat anak-anak tumbuh dari setiap detakan waktu yang bergerak cepat. Tiba-tiba kau telah menemukan anak-anak pandai tengkurap, duduk, berjalan dan bicara patah-patah. Sementara aku menyaksikan segalanya dengan rasa gugup dan debar yang begitu hangat. Mengajari mereka tentang cinta dan kedamaian. Hingga mereka tahu mengapa kita memilih rumah yang jauh dari keramaian, sebab kita butuh tempat yang masih memberikan hawa segar. Mereka juga akan tahu mengapa kita tidak memagari rumah kayu dengan besi yang berjeruji karena kita bukan tahanan yang harus dipenjarakan oleh rasa takut.

Kau memelukku erat sambil berbisik, “Aku menyukai impianmu.”

“Kalau begitu beri aku Palung Laut dan Elang Langit.”

Kau diam saja. Aku tahu kau pasti punya nama lain untuk anak-anak, tapi aku tidak memberimu kesempatan.

Apakah impian kita kurang indah?

***

“Anak kita, Palung Laut dan Elang Langit. Ketika lahir telah memilih sebagai lelaki. Lalu apa yang mesti kita sesali?” katamu seringkali. Aku enggan menatap matamu yang selalu ingin memojokkanku dengan sorot yang membujuk.

Aku memalingkan pandang ke ujung yang jauh. Kutangkap langit karena aku merasa harus berbagi.

“Kau ingat kan di sebuah sore yang kau anggap buruk, Palung Laut dan Elang Langit memilih pedang-pedangan padahal kau juga memberikan mereka pilihan lain, sebuah dunia yang indah dengan hiasan bunga-bunga cintamu. Juga ketika mereka justru memilih belajar menembak dengan pistol-pistolan yang dibelikan kakeknya daripada ikut les melukis seperti keinginanmu. Anak kita memang benar-benar telah memilih menjadi lelaki. Dan itu bukan hal yang begitu menakutkan.” Lagi-lagi kau menyudutkanku. Tapi aku tidak bisa.

Aku ingin dekat dengan anak-anak seperti dulu mereka dalam rahimku. Ingin menjaganya dengan kasih yang melimpah-limpah. Menyelimuti hati mereka
dengan cinta yang putih salju. Tapi kau selalu mengatakan kalau aku tidak menghargai pilihan anak-anak. Dan itu sama saja membunuh hidup mereka dengan cara yang sangat halus namun pedih. Aku menangis diam-diam kala kau bicara seperti itu. Bagaimana mungkin aku bermaksud kejam pada anakku sendiri. Kau telah melebih-lebihkan segalanya. Tuduhanmu agak keterlaluan. Aku marah padamu.

“Apa kau sungguh-sungguh ingin anak-anak memilih sebagai lelaki?” tanyaku dengan mata yang basah. Kau gugup. Aku tahu kau tidak bisa membuat sebuah alasan untuk menipuku. Kau juga kesepian.

“Tapi anak kita telah memilih sebagai laki-laki.” Kembali kau membujukku.

“Seharusnya itu tidak terjadi jika akan menjauhkan mereka dariku.”

“Mereka akan tetap anak-anak kita,” katamu. Aku mulai muak dengan bujukan-bujukan seperti itu. Kau seperti ingin mengajari tentang hal yang belum kumengerti tentang anak-anak. Padahal aku selalu yakin jauh lebih memahami anak-anakku dari siapapun.

“Bukankah kau pernah menyukai impianku? Namun kini aku merasa kau ingin menghianatiku.” Aku menggugat.

“Palung Laut dan Elang Langit adalah laki-laki. Tidak ada yang salah dengan pilihan mereka.” Kalimatmu lebih tegas dari sebelumnya. Kau menangkap wajahku dan memaksaku memandang matamu. Aku benar-benar menangis.

***

Dari beranda masih kubayangkan anak-anak berlari-lari di antara pohon-pohon. Tubuh mereka terkadang hilang di balik pohon dan aku hanya mendengar pekikan kecil disusul derai-derai tawa. Mereka sedang bermain simbun-simbunan bersama teman-temannya. Dan aku tidak pernah melewatkan saat-saat di mana aku bisa menikmati kebebasan mereka berekspresi. Lalu sesekali anak-anakku akan melambaikan tangannya dengan jari-jari yang mungil. Aku tahu mereka tidak menginginkan aku pergi, maka aku akan tetap bertahan di beranda sampai mereka kembali ke pangkuanku dengan tubuh yang basah keringat.

Mungkin kau tidak punya kenangan seperti itu. Tapi aku?

Bila malam aku menemukan senyum mereka yang lebar di bawah pecahan cahaya bulan ketika aku mendongengkan cerita Pak Beluk, Sinam-nam, kura-kura dan monyet, Angsa putih juga ratusan cerita lain.

Malam-malam seperti itu masih begitu lekat di hatiku. Mereka terkadang memaksaku menceritakan kembali Angsa Putih yang telah berkali-kali diulang. Aku selalu memenuhi. Mereka memperhatikan cerita dengan serius.

...Lalu Angsa putih terbang ke langit. Masih terdengar sisa tangisnya, memanggil-manggil bapaknya, ibunya...tapi pintu dangau masih tertutup rapat.

Esok harinya Bapak Angsa putih keluar. Dan ia tidak menemukan apa-apa selain kelengangan dan selembar bulu Angsa yang melayang-layang terbawa angin.

“Begitulah kisahnya.” Aku mengakhiri cerita.

“Angsa putih tinggal sama siapa di langit?” Palung bertanya. Aku tersenyum sebab pertanyaan itu lagi-lagi muncul untuk kesekian.

“Di langit kan banyak bidadari. Mereka baik hati dan akan menyayangi Angsa putih,” Aku menjawab tentu dengan jawaban yang harus kurangkai sedemikian rupa karena tidak mungkin menggunakan kalimat yang persis sama seperti sebelumnya.

“Apa bidadari baik hati?”
“Tentu saja. Hati mereka putih.”
“Seperti apa, Bu?”
"Seperti hati anak-anak.”
“Seperti apa sih, Bu, hati anak-anak?”
“Ibu kan sudah bilang tadi, putih.”
“Ibu pernah lihat tidak?”
“Ya…tidak sih. Tapi Ibu bisa tahu.”
“Bu….”
“Ya.”
“Apa bidadari juga baik seperti ibu?”
“Tentu saja.”
Mereka tertidur dalam bingkai wajah yang damai.

Lalu kutemukan hari yang pucat dan kusadari semua sudah berakhir. Apa yang lebih menyakitkan dari sebuah kehilangan?

Pelan-pelan anakku tidak tertarik lagi dengan dongeng-dongeng yang selalu kusiapkan tiap malam. Palung Laut dan Elang Langit sebelum usia menginjak sembilan dan delapan tahun tiba-tiba bercerita tentang kebanggaannya pada sang jagoan dalam film kartun yang ditayangkan di televisi. Hingga suatu hari mereka merengek setengah menangis minta dibelikan pedang-pedangan seperti yang dimiliki sang jagoan. Dan aku hanya tertegun. Menganggap keinginan Palung dan Elang hanya mimpi burukku. Aku berharap segera terbangun dan mendapatkan anak-anakku yang berwajah lembut dan bermata teduh. Namun aku tidak pernah terbangun.

Setiap pulang sekolah anak-anak bermain pedang-pedangan di halaman rumah bersama teman-temannya. Saling berlawanan dan seperti saling ingin melukai. Bila ada yang terkena ujung pedang-pedangan berarti ia kalah dan yang menang akan bersorak sambil mengangkat sebelah tangan tinggi-tinggi.

Yang tertinggal untukku hanyalah saat-saat Palung dan Elang datang padaku demi menunjukkan mata mereka yang bersinar-sinar sambil terus membanggakan kemampuan bermain pedang-pedangan dan ingin sekali lebih pandai lagi seperti sang jagoan dalam film kartun. Aku rasa mimpiku lebih buruk lagi ketika suatu hari mereka juga minta pistol-pistolan. Mereka mau bermain perang-perangan dengan lebih hebat lagi.

Sungguh aku rindu memberikan dongeng pada anak-anak. Mendengar mereka bertanya dengan polos. Terlebih aku hanya ingin anak-anakku tetap berwajah lembut!

Tapi kau selalu berkata, ” anak kita telah memilih sebagai laki-laki.”

Sampai mereka benar-benar pamit dan jauh.

Padang, 18 Juni 2003

Bulan Lahir dan Kepribadian Anda

Januari

Suka mendidik dan dididik.
Sangat mudah melihat kelemahan orang
lain dan suka mengkritik.
Rajin dan setiap yang dibuat selalu
menghasilkan keuntungan.
Suka berbenah atau bersih-bersih dan
hal-hal yang serba teratur.
Bersifat sensitif, berfikiran mendalam.
Pandai mengambil hati orang lain.
Pendiam kecuali telah dirangsang.
Agak pemalu dan mendambakan tumpuan
yang bisa dipercayai.
Mudah mendisiplinkan diri sendiri.
Badannya sehat tetapi mudah diserang
influensa.
Bersikap romantik tetapi tidak pandai
memamerkannya atau memperlihatkannya.
Cukup sayang pada anak-anak.
Suka berdiam di rumah.
Setia pada segala-galanya.
Perlu belajar untuk hidup
bersosialisasi.
Mempunyai rasa cemburu yang sangat
tinggi.


Februari

Berfikiran abstrak.
Suka pada benda yang real dan abstrak.
Inteligent, bijak dan jenius.
Memiliki kepribadian yang mudah
berubah.
Mudah menawan hati orang lain.
Agak pendiam, pemalu dan rendah diri.
Jujur dan setia pada segalanya.
Keras hati untuk mencapai tujuan.
Tidak suka dikekang.
Mudah memberontak apabila dikekang.
Emosinya mudah terluka dan sangat
sensitif.
Mudah memamerkan dan memperlihatkan
amarahnya.
Suka berkawan tapi kurang
memamerkannya.
Sangat berani dan suka memberontak.
Bercita-cita tinggi dan suka berangan-
angan
Optimis untuk merealisasikan impiannya.
Pemerhatian yang tajam.
Suka hiburan dan suka akan benda yang
bersifat seni.
Sangat romantik pada dalamannya tetapi
tidak pada luarannya.
Berkecenderungan pada benda yang
tahyul.
Amat mudah dan boleh menjadi terlalu
boros.
Harus belajar untuk memamerkan emosi.


Maret

Berkepribadian yang menarik dan
menawan.
Mudah didampingi.
Sangat pemalu dan pemendam rasa.
Sangat baik, jujur, pemurah dan mudah
simpati.
Sangat sensitif pada perkataan yang
dituturkan dan alam sekitar.
Suka pada kedamaian.
Sangat peka kepada orang lain.
Sesuai dengan kerjanya yang memberi
khidmat kepada orang lain.
Tidak cepat marah dan sangat baik hati.
Tahu membalas dan mengenang budi orang.
Pemerhatian dan penilaian yang sangat
tajam.
Kecenderungan untuk mendendam jika
tidak dikontrol.
Suka berangan-angan.
Suka melancong.
Sangat manja dan suka diberi perhatian
yang sangat tinggi.
Kelang kabut dalam memilih pasangan.
Suka dengan hiasan rumah tangga.
Punya bakat seni dalam bidang musik.
Kecenderungan kepada benda yang
istimewa dan bagus.
Terlalu moody.


April

Sangat aktif dan dinamik.
Cepat bertindak buat keputusan tetapi
cepat menyesal.
Sangat menarik dan pandai memanjakan
diri.
Punya daya mental yang sangat kuat.
Suka diberi perhatian.
Sangat diplomatik (pandai membujuk,
berkawan dan pandai menyelesaikan
masalah orang).
Sangat berani dan tidak ada perasaan
takut.
Suka petualangan, pengasih, penyayang,
sopan santun dan pemurah.
Emosi cepat terusik.
Kecenderungan bersifat dendam.
Agresif, kelam kabut untuk membuat
keputusan.
Kuat daya ingatan.
Gerak hati yang sangat kuat.
Pandai mendorong diri sendiri dan
memotivasikan orang lain.
Berpenyakit di sekitar kepala dan dada.
Sangat cemburu dan terlalu cemburu.


Mei

Kekerasan hati dan degil.
Kuat semangat dan bermotivasi tinggi.
Pemikiran yang tajam.
Mudah marah apabila tidak dikontrol.
Pandai menarik hati orang lain dan
menarik perhatian.
Perasaan yang amat mendalam.
Cantik dari segi mental dan fisik.
Tidak perlu dimotivasikan.
Tetap pendirian tetapi mudah
dipengaruhi oleh orang lain.
Mudah dibujuk.
Bersikap sistematik (otak kiri).
Suka berangan-angan.
Kuat daya firasat, memahami apa yang
terlintas di hati orang lain tanpa
diberitahu.
Bagian telinga dan leher mudah
diserang penyakit.
Daya khayal yang tinggi.
Pandai berdebat.
Fisik yang baik.
Kelemahan sistem pernafasan.
Suka sastra,seni dan musik serta
melancong.
Tidak berapa suka duduk atau diam di
rumah.
Tidak boleh duduk diam.
Tidak punya banyak anak.
Rajin dan bersemangat tinggi.
Agak boros.


Juni

Berfikiran jauh dan berwawasan.
Mudah digunakan atau dimanfaatkan
orang karena sikap baik.
Berperangai lemah lembut.
Mudah berubah sikap, perangai, idea
dan mood.
Idea yang terlalu banyak di kepala.
Bersikap sensitif.
Otaknya aktif (senantiasa berfikir).
Sukar melakukan sesuatu dengan segera.
Bersikap suka menunda-nunda.
Bersikap terlalu memilih dan selalu
mau yang terbaik.
Cepat marah dan cepat sejuk.
Suka berbicara dan berdebat.
Suka membuat lawakan atau lelucon dan
bergurau.
Otaknya cerdas dan suka berangan-angan.
Mudah dan pandai berkawan.
Orang yang sangat tertib.
Pandai memamerkan sikap.
Gampang berkecil hati.
Mudah terkena influensa.
Suka berbenah atau bersih-bersih
Cepat merasa bosan.
Sikap terlalu memilih dan cerewet.
Kurang memamerkan perasaan.
Lambat sembuh apabila hatinya terluka.
Mudah menjadi eksekutif.
Kedegilan yang tidak terkontrol.
Mempunyai prinsip: siapa yang memuji
saya adalah musuh saya tetapi siapa
menegur saya adalah kawan saya.


Juli

Sangat senang apabila didampingi.
Banyak berahasia dan sukar dimengerti,
terutama laki-laki.
Agak pendiam kecuali dirangsang.
Tak suka menyusahkan orang lain tapi
tidak marah apabila disusahkan.
Mudah dibujuk.
Sangat menjaga hati atau perasaan
orang lain.
Sangat ramah.
Emosi sangat mendalam tapi mudah
terluka hatinya.
Berjiwa sentimental.
Jarang mendendam.
Mudah memaafkan tapi sukar melupakan.
Membimbing secara fisik dan mental.
Sangat peka, pengasih serta penyayang.
Melayani semua orang dengan sama.
Daya simpati yang tinggi.
Pemerhatian yang tajam.
Suka menilai orang lain.
Mudah dan rajin belajar.
Suka mengenang peristiwa atau kawan
lama.
Suka berdiam diri.
Suka duduk atau diam di rumah.
Suka menunggu kawan tapi tidak mencari
kawan.
Tidak agresif kecuali terpaksa.
Lemah dari segi kesehatan perut.
Mudah gemuk apabila tidak mengontrol
makanan melalui diet.
Minta disayangi.
Mudah terluka hati tapi lambat untuk
pulih.
Rajin dalam bekerja.


Agustus

Suka bergurau.
Sopan santun dan perhatian terhadap
orang lain.
Berani dan tidak mengenal kata takut.
Orangnya agak tegas dan bersikap
kepemimpinan.
Pandai membujuk orang lain.
Terlalu pemurah dan bersikap ego.
Nilai harga diri yang sangat tinggi.
Haus akan pujian.
Semangat juang yang luar biasa.
Cepat marah dan mudah mengamuk.
Mudah marah apabila perkataannya
dilawan.
Sangat cemburu.
Cepat berfikir.
Fikiran yang berdikari.
Suka memimpin dan dipimpin.
Sifat suka berangan.
Berbakat dalam seni lukis, hiburan dan
silat.
Cepat ditimpa penyakit.
Belajar untuk relax.
Sikap kelam kabut.
Romantik, pengasih, penyayang.
Suka mencari kawan.


September

Sangat sopan santun.
Sangat cermat, teliti dan teratur.
Suka menegur kesalahan orang lain dan
mengkritik.
Pendiam tapi pandai dalam bercakap-
cakap.
Sikap sangat cool, sangat baik dan
mudah simpati.
Kerja yang dilakukan sangat sempurna.
Sangat sensitif tetapi tidak diketahui.
Orang yang banyak berfikir.
Otak bijak dan mudah belajar.
Suka mencari maklumat.
Kontrol diri untuk tidak terlalu
mengkritik.
Pandai mendorong diri sendiri.
Mudah memahami orang lain (daya
firasat yang tinggi) karena banyak
menyimpan rahasia.
Suka akan hiburan dan melancong.
Kurang menunjukan perasaannya.
Luka hatinya sangat lama disimpan.
Terlalu memilih pasangan.
Sistematik.


Oktober

Menyukai orang yang sayang padanya.
Suka mengambil jalan tengah.
Sangat menawan dan sopan santun.
Kecantikan luar dan dalam.
Tidak pandai berbohong dan berpura-
pura.
Mudah rasa simpati, baik, lebih
mementingkan kawan.
Senantiasa berkawan.
Hatinya mudah terusik tetapi
merajuknya tak lama.
Cepat marah.
Tidak menolong orang kecuali diminta.
Suka melihat dari perspektifnya
sendiri.
Tidak suka terima pandangan orang lain.
Emosi yang mudah terusik.
Suka berangan dan pandai bercakap.
Emosi yang kelam kabut.
Daya firasat yang sangat kuat
(terutama perempuan).
Suka melancong, bidang sastra dan seni.
Pengasih, penyayang dan lemah lembut.
Romantik dalam percintaan.
Mudah terusik hati dan cemburu.
Ambil berat tentang orang lain.
Suka kegiatan luar.
Orang yang adil.
Boros dan mudah dipengaruhi sekitarnya.
Mudah patah semangat.


November

Banyak ide.
Sukar untuk dimengerti atau difahami
sikapnya.
Berfikiran ke depan.
Berfikiran unik dan bijak.
Penuh dengan idea-idea baru yang luar
biasa.
Pemikiran yang tajam.
Daya firasat yang sangat halus dan
tinggi.
Bagus untuk jadi Dokter.
Cermat dan teliti.
Sifat yang berahasia, pandai mengorek
dan mencari rahasia.
Banyak berfikir, kurang bicara tetapi
mesra.
Berani, pemurah, setia, dan sabar.
Terlalu degil dan keras hati.
Apabila mau akan diusahakan sehingga
berhasil.
Tidak suka marah kecuali digugat.
Cara berfikir yang lain dari orang
lain.
Otak yang sangat tajam.
Pandai mendorong diri sendiri.
Tidak menghargai pujian.
Kekuatan semangat dan daya juang yang
sangat tinggi dan apabila hendak
sesuatu akan mencoba sampai berhasil.
Kasih sayang dan emosi yang sangat
mendalam.
Romantik.
Tidak pasti dengan hubungan kasih
sayang.
Suka duduk atau diam di rumah.
Sangat rajin dan berkemampuan tinggi.
Amanah, jujur setia dan pandai
berahasia.
Tidak berapa berjaya dalam mengontrol
emosi.
Bercita-cita tinggi.
Perangai tidak dapat diramal dan mudah
berubah-ubah.


Desember

Sangat setia dan pemurah.
Bersifat patriotik.
Sangat aktif dalam permainan dan
pergaulan.
Sikap kurang sabar dan tergesa-gesa.
Bercita-cita tinggi.
Suka menjadi orang yang berpengaruh
dalam organisasi.
Senang apabila didampingi.
Suka bergaul dengan orang.
Suka dipuji, diberi perhatian dan suka
dibelai.
Sangat jujur.
Tidak pandai berpura-pura.
Cepat marah.
Perangai yang berubah-ubah.
Tidak ego walaupun harga diri yang
sangat tinggi.
Benci apabila dikekang.
Suka bergurau.
Pandai membuat lelucon dan berfikir
dengan logika.

Sisi Suram Sekolah Internasional

Oleh Yusriandi Pagarah*

Tahun 2006 silam, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia mencanangkan sekolah bertaraf internasional di beberapa kota besar di Indonesia. Namun, yang nyata terbaca sampai saat ini wacana sekolah internasional tersebut melengkapi sejumlah kontroversi dunia pendidikan negeri ini.

Seperti UU sistem pendidikan nasional yang masih menggantung, pembatalan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang tergesa-gesa dan sepihak oleh pemerintah, wacana sertifikasi guru dan dosen yang mengambang, dan pungutan biaya yang tinggi oleh beberapa sekolah favorit.

Proyek prestisius yang bernama sekolah internasional, melengkapi dan memperlebar disparitas dalam dunia pendidikan. Bila sebelumnya terjadinya kepincangan antara sekolah negeri dan sekolah swasta, sekolah di kota dan sekolah di desa, sekolah umum dan sekolah berlatar agama serta sekolah kejuruan, sekolah unggulan dengan sekolah non- unggulan, kini ditambah lagi dengan sekolah nasional dan sekolah internasional.

Memutar Arah Jarum Jam

Benih-benih polemik seputar kiblat pendidikan Indonesia telah berusia lama, sekali pun dalam bentuknya yang paling minimalis. Dunia pendidikan, sekali pun belum ditaruh pada tempat yang layak dan belum menjadi barometer kemajuan bila dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan teknologi, namun pendidikan masih diakui sebagai tempat yang strategis untuk pengaderan dan penyemaian benih ideologi tertentu.

Akar yang kokoh sebagai polemik dimulai sejak masa kolonial. Saat itu terjadi perbedaan tajam antara sekolah milik pemerintah kolonial dan sekolah rakyat. Pemerintah kolonial dengan sejumlah jejaring koloni dan kaki tangannya membangun persekolahannya yang sangat berbeda dengan sekolah milik bumi putera.

Pemerintah kolonial memberikan subsidi penuh dan menyediakan asrama bagi pelajarnya. Disamping menanamkan ideologi yang sesuai dengan kebijakan pemerintah, sekolah milik kolonial juga menggunakan bahasa Belanda dalam proses belajar- mengajar. Lamat-lamat kebijakan tersebut membuahkan hasil.

Kepintaran berbahasa Belanda dan belajar di sekolah pemerintah kolonial menjadi prestise sendiri bagi pelajar bumi putera. Seolah dengan fasih berbahasa Belanda para pelajar bumi putera merasa menjadi orang istimewa dan mengidentifikasikan dirinya berdasarkan hal itu.

Sementara sekolah rakyat yang sebagian besarnya merupakan afiliasi dari organisasi masyarakat dan organisasi keagamaan, seperti sekolah milik Muhammadiyah atau Ma'arif NU, perguruan Perti atau perguruan Persis dan pondok pesantren otonom lainnya, membangun sekolah secara swadaya.

Sekolah yang masuk kategori kedua ini mendidik muridnya yang rata-rata berasal dari keluarga kurang mampu, dari kalangan rakyat biasa dan mereka yang tidak mendapat kesempatan menikmati sekolah milik pemerintah. Pendanaan yang kurang, kontrol pemerintah kolonial yang ketat, dan bahkan kebijakan pemerintah kolonial yang sewenang-wenang merupakan bagian yang inheren dari sekolah rakyat.

Lebih parah dari itu adalah bila pemerintah kolonial menerapkan kebijakan ordonansi dengan dalih stabilitas,menutup sekolah tertentu karena ditakutkan melakukan ekstremisme dan merongrong pemerintah.

Disparitas tersebut juga terbaca amat kentalnya pada perdebatan alot dalam memilih strategi perjuangan mencapai kemerdekaan dan dalam menetapkan ideologi negara setelah Indonesia merdeka. Antara kubu nasionalis yang berlatar pendidikan dibiayai kolonial, besar dan mengenyam pendidikan di Belanda dan Eropa, dengan para pemuka agama dan tokoh masyarakat yang pendidikannya dari pendidikan tradisional yang besar dan menetap di pedesaan, atau maksimal pernah menunaikan ibadah haji dan pernah belajar beberapa tahun di Timur Tengah.

Pemandangan serupa juga dapat diinderai dari polemik panjang mengenai kiblat kebudayaan Indonesia antara kubu Sutan Takdir Alisyahbana dan pengikutnya di satu sisi, dengan kubu pendiri Taman Siswa Ki Hajar Dewantara dan mereka yang sependapat dengannya di sisi yang satunya lagi.

Penjajahan Nalar

Institusi pendidikan bagaimanapun juga dan ditilik dari sisi mana saja hari ini merupakan bagian tak terpisahkan dari pasar dan tak imun dari serbuan kecenderungan global. Ada dua hal penting yang perlu diberikan catatan kaki kritis.

Pertama, perekrutan berdasarkan prestasi dan potensi yang dimiliki siswa. Selama ini sekolah unggulan, sekolah internasional atau apa pun namanya identik dengan orang tua berduit atau memiliki koneksi dengan pihak sekolah.

Selama ini sekolah unggulan juga milik eksklusif masyarakat kota yang bisa melakukan pendidikan tambahan dengan mengikuti berbagai les. Hal tersebut berbanding terbalik dengan penduduk desa yang tidak mengenal kursus bahasa asing dan apalagi kursus komputer dan pelatihan internet. Kurang adil rasanya bila dalam perekrutan sekolah internasional menerapkan hukum pukul rata tanpa mempertimbangkan latar belakang calon siswa yang beragam.

Kedua, berorientasi pada pembentukan karakter yang sesuai dengan kepribadian bangsa. Sekolah unggulan dan sekolah internasional selama ini lebih mengutamakan penguasaan sejumlah bahasa asing dan memiliki sejumlah keahlian khusus di bidang penerapan teknologi tepat guna. Sedangkan bidang moralitas dan aspek rohani para siswa seringkali terabaikan. Kita jumpai banyak siswa atau alumni sekolah unggulan yang tidak pandai menyesuaikan diri dengan masyarakatnya dan bahkan terus terang melabrak norma dan etika yang diajarkan bangsanya.

Kita patut sedikit curiga dan selayaknya kritis dengan ideologi yang membonceng di balik proyek pengembangan dan menjamurnya sekolah internasional. Karena banyak di antara siswa sekolah internasional yang lebih kenal dengan negara luar daripada negerinya sendiri. Lebih akrab dengan tokoh negara lain ketimbang negara sendiri. Disamping itu kurikulum sekolah internasional juga bertolak belakang dengan kebutuhan rata-rata lapangan kerja yang ada di Indonesia.

Jeli

Dari gambaran di atas terlihat bahwa sekolah internasional diakui memang memiliki sejumlah keunggulan, namun sebagaimana laiknya pendirian institusi lainnya, pendirian sekolah internasional juga tak luput dari sejumlah kekurangan dan kontradiksi di dalamnya. Bila tidak jeli menyikapinya, lamat-lamat sekolah internasional akan mengauskan kepribadian dan karakter bangsa dari dalam. Sebagaimana disinggung di atas, sekolah adalah tempat paling strategis untuk penyemaian berbagai ideologi dan sarat dengan kepentingan pihak tertentu.

Belajar dari praktik pendidikan masa kolonial yang sangat ekslusif dan bias, tidak tertutup kemungkinan sekolah internasional juga akan membawa kita kembali ke situasi zaman baheula itu.

Kita jangan sampai tertipu oleh slogan indah sekolah internasional seperti act locally, think globally dan open and international mind. Karena tidak mustahil sekolah internasional adalah sebentuk invansi asing atau neo-liberalisme dengan wajah baru melalui institusi pendidikan. Sesuatu yang telah diwanti-wanti oleh sosiolog dan pemikir kebudayaan kontemporer Prancis, Pierre Bourdieu, yang disebutnya penjajahan nalar dan imperialisme pola pikir.

*Yusriandi Pagarah, kulturalis, Koordinator Komunitas Perairan Wacana Yogyakarta

Perjuangan Perempuan Perspektif Analisis Morfogenis

Persfektif yang paling peka adalah persfektif janda dan yatim
Sudut pandang mereka yang dieksploitasi dan terpinggirkan
--John Raines—

Setiap tahun kita memperingati Hari Ibu dan Hari Kartini. Peringatan Hari Perempuan Sedunia juga tak kalah heroiknya diperingati di berbagai tempat dengan mengusung berbagai tema menarik. Tidak sedikit pula peringatan tersebut diiringi dengan diskusi, seminar dan serasehan. Menghadirkan banyak panelis dari berbagai latar belakang disiplin keilmuan dan keahlian. Bahkan di negeri ini telah sejak lama ada Mentri Pemberdayaan Perempuan. Tapi apa maknanya bagi kaum perempuan negeri ini? Jujur saja, dari satu tahun ke tahun berikutnya, peringatan hari-hari perempuan tersebut begitu-begitu saja. Tak ada geliat yang membesarkan hati kaum perempuan. Apalagi niat yang membuat mereka berbinar sumringah.

Perjuangan Melawan Diskriminasi

Dalam talk show baru-baru ini di salah satu televisi swasta terkemuka, Menteri Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta, yang juga anak sulung proklamator Bung Hatta, mengetengahkan ada tiga persoalan krusial yang dihadapi perempuan saat ini.

Pertama, pendidikan bagi perempuan. Pendidikan merupakan jalur yang paling strategis untuk mensosialisasikan berbagai ide dan pemikiran. Melalui pendidikan dimungkinkan sebuah persoalan dapat ditengok dengan beragam sudut pandang; melalui pendidikan sebuah permasalahan bisa dicarikan jalan keluar dengan beraneka pilihan. Persoalannya adalah iklim pendidikan tidak berpihak kepada perempuan.

Kedua, gaji yang belum memadai. Perlahan perempuan ikut berkiprah di ruang publik di segala bidang. Hampir tidak ada ruang publik atau tempat kerja yang tidak menggunakan tenaga perempuan. Bahkan ada beberapa perusahaan dan pabrik—biasanya yang bergerak di bidang tekstil, konveksi, aksesoris, kesehatan dan jasa rumah tangga—di Jabodetabek, Batam atau di luar negeri seperti Malaysia, Timur Tengah dan Taiwan, memprioritaskan tenaga kerja perempuan. Ini tentu membuat kita bangga.

Bila ditelisik lagi, trik tersebut merupakan bagian akal bulus bos untuk mempertebal doku dan menumpuk pundi-pundi kekayaan. Karena kaum perempuan rajin bekerja dan tidak banyak permintaan. Persoalan lainnya yang sangat krusial adalah gaji yang diterima tidak setimpal dengan kerja keras dan loyalitas yang mereka pertaruhkan. Dengan jam dan pekerjaan yang sama dengan laki-laki, toh gaji mereka tetap di bawah standar gaji laki-laki.

Ketiga, minimnya fasilitas kesehatan. Kesehatan perempuan seringkali terlupakan. Padahal mereka sangat rentan tertular penyakit yang berasal dari diri mereka sendiri maupun penyakit yang berasal dari luar.
Proses Morfogenis?

Memerangi ketidakadilan sosial akan selalu menjadi tema menarik dan tetap akan menjadi tema penting dalam setiap pemikiran kemasyarakatan. Yang berbeda barangkali hanya prioritas kasus yang diangkat atau alat analisis yang digunakan. Sejarah manusia memerangi ketidakadilan sosial telah melahirkan berbagai analisis dan beragam teori sosial. Teori kelas Marx sangat membantu untuk memahami ketidakadilan distribusi ekonomi dan erat kaitannya dengan sistem sosial lainnya. Bahasan Gramsci dan Arthusser tentang ideologi dan kultural juga manjur untuk menyingkap status quo. Penganut teori kritis mazhab Frankfurt mempersoalkan bangunan metodologi positivisme sebagai sumber ketidakadilan juga dapat tempat di hati sebagian pengamat dan peminat studi sosial. (Mansour Fakih, 2005: xi-xii)

Membicarakan keadilan sosial, dimulai dengan melakukan kritik-diri masyarakat (self-critic society)—berasal dari dalam masyarakat. Mencurigai setiap kebijakan kelas penguasa—entah itu pendeta, ulama atau birokrasi, merupakan langkah awal yang tepat. Disebabkan kekuasaan senantiasa menyembunyikan kesewenang-wenangan di balik topeng fair play—selalu menyimpan aib di balik jubah demi kebaikan bersama. Mengunting dalam lipatan. Dibungkus rapi dengan selimut budaya dan dikukuhkan dengan legitimasi agama. (Raines, 2003: xix). Bentuknya dapat saja berupa asas hitam di atas putih melalui perundang-undangan dan peraturan daerah dengan alasan demi ketertiban umum, demi menjaga martabat bangsa atau untuk mengukuhkan keistimewaan daerah atau untuk menjaga kesucian agama tertentu.

Untuk meneropong ketimpangan relasi dan organisasi sosial, khazanah ilmu sosial menyediakan pisau bedah alternatif berupa proses morfogenik dan morfostatik. Morfogenesis merujuk pada proses sosial yang cenderung mengembangkan atau mengubah tataran sistem dan struktur tertentu. Sementara morfostastis sebentuk mekanisme yang cenderung menjaga atau mempertahankan segala sesuatu yang telah ada. (Buckley, 1967: 58)

Semakin dikontrol biasanya kian kuat resistensi. Ini sudah jamak dari setiap kebudayaan. Pada tataran inilah analisis jender—yang dipakai kaum feminis dan aktivis perempuan untuk mengurai ketidakadilan sosial—kita dudukan. Untuk memahami analisis jender, pertama harus dijernihkan perbedaan karena jenis kelamin dan perbedaan karena jender. Yang pertama mengacu pada kondisi biologis yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia; sebagai laki-laki atau perempuan. Sesuatu yang tidak dapat digugat, sesuatu yang given. Sedangkan yang kedua merupakan sifat yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dibentuk secara sosial dan kultural. Sesuatu yang dapat berubah dan dipertukarkan seiring perubahan tempat dan waktu. Pada yang kedua inilah analisis jender berhasrat untuk memainkan kartu yang dimilikinya dengan cantik. (Mansour Fakih, 2005: 8-9)

Analisis jender termasuk proses morfogenis dan dikatupkan dalam siklus umpan-balik positif (deviation-amplifying), dimana penyimpangan tidak melulu berkonotasi negatif. Penyimpangan dapat berupa prilaku apa saja dan bisa dilakukan oleh siapa saja yang bertolak dari bentuk struktural yang sudah mapan dan melanggar norma yang sudah baku di masyarakat. Juga perkembangan hubungan sosial yang baru, metode atau strategi baru untuk menyelesaikan persoalan lama. Penyimpangan dalam kutub ini malahan digadang dan disanjung. Tegasnya, penyimpangan jadi modal dan senjata ampuh untuk melawan ketidakadilan sosial dan mencairkan organisasi sosial yang membeku.

Nyatalah persoalan yang dihadapi gerakan perempuan datang dari berbagai penjuru. Tidak saja berjibaku dengan nasib kaumnya yang miskin-papa dan tak terdidik; tantangan yang dihadapi gerakan perempuan juga berasal dari budaya kental patriaki dengan jalinan jaring-jaring struktural yang “membatu” yang diciptakan budayanya sendiri. Tragisnya lagi, semua ketimpangan dan ketidakadilan tersebut dideduksi dari kitab suci dan juga mendapat pembenaran dari norma-norma kulturalnya.

Perempuan hari ini mesti berbesar hati sekaligus tetap waspada karena secara perlahan-lahan analisis jender telah membuka mata dunia; betapa menderitanya perempuan dalam sistem bobrok patriaki. Kaum perempuan hari ini—termasuk kaum feminis dan para aktivis perempuan—mesti berbahagia karena apa yang diperjuangkan selama ini tidak sia-sia. Senantiasa optimis menatap masa depan. Soptimisnya Marx setelah kepindahannya dari Bonn ke Berlin, yang ditulis kepada ayahnya:

Tirai sudah tersingkap, kesucianku mulai menerangi, dan tuhan-tuhan baru harus ditemukan…

Yusriandi Pagarah, kulturalis, bergiat pada Komunitas Perairan Wacana, Yogyakarta